Kamis, 05 Mei 2011

TUMPEK LANDEP

Pelaksanaan hari suci Tumpek Landep yaitu setiap Saniscara (Sabtu) Kliwon Wuku Landep, atau setiap 210 hari. Pelaksanaan Tumpek Landep dilakukan di Bali karena mengandung hakekat dan makna yang tinggi serta sangat berhubungan dengan kehidupan manusia di bumi terutama mengenai intelegensi manusia, sebab manusia itu sendiri adalah makhluk spiritual yang selalu berhubungan dengan kekuatan supranatural. Kata Landep berarti tajam atau ketajaman.

Hari suci Tumpek Landep merupakan hari peringatan mengajewantahnya Sang Hyang Widhi dengan prabhawa Nya sebagai Sang Hyang Pasupati, untuk menganugerahkan intelegensi (IQ) kepada semua makhluk. Kata Pasupati berasal dari kata "Pasu" dan "Pati", kemudian kata Pasu berarti Sato, Sato erat hubungannya dengan Tattwa, sehingga erat juga hubungannya dengan kata Sattwa. Kata Sattwa sendiri terdiri dari suku kata Sat dan Twa. Dengan demikian Sat berarti "Inti", sedangkan Twa berarti Kebenaran. Kata Pati berarti "Sumber", sehingga Pasupati bermakna "Kekuatan yang timbul, bersumber pada inti kebenaran".

Pada pelaksanaan Upacara Tumpek Landep juga menggunakan sarana Uparengga (Simbol-simbol Suci) yang bersifat tajam, salah satu misalnya adalah sebilah Keris, karena keris memiliki 3 (tiga) sisi mata pisau, yaitu pada rai (sisi) sebelah kanan sebagai nyasa (simbol) kekuatan Hyang Brahma yaitu kekuatan "Sakti". Untuk rai sebelah kiri sebagai kekuatan Hyang Wishnu, yaitu kekuatan "Sidhi". Dan untuk ujung keris yang runcing adalah sebagai simbol kekuatan Hyang Shiwa, yaitu kekuatan "Mandhi". Dari ketiga kekuatan ini tidak hanya bersifat kekuatan spiritual saja, namun juga bersifat nyata. Sidhi berasal dari kata Sidha yang bermakna Kebersihan. Sedangkan kata Sakti berasal dari kata Sakta yang bermakna Ada. Kemudian kata Mandhi berasal dari kata Mandha yang bermakna Selalu Mengalir. Dengan demikian, ketiga makna tersebut menyampaikan bahwa bentuk Anugerah dari Hyang Widhi ke jagat raya selalu bersifat Wahya dan Diatmika (Sekala dan Niskala), untuk selalu menjaga agar ketiga alam (Bhur-Bwah-Swah) berada pada keserasian, keseimbangan dan keselarasan.

Sehubungan dengan simbol senjata keris di atas, adalah merupakan budaya Hindu Bali yang mengandung nilai-nilai Tattwa yang begitu tinggi dan sakral, karena setiap ada kegiatan upacara Hindu Bali lebih sering disertakan sebilah keris seperti upacara memasang pedaginggan, upacara tebasan penampahan, upacara perkawinan, dsb. Namun kenyataannya pada jaman sekarang dikalangan keluarga Hindu Bali banyak yang tidak lagi memiliki keris, kecuali yang mendapatkan warisan. Bahkan tidak jarang, justru keris warisan itu pun dijual, sehingga banyak keris-keris sakral yang justru berguna dalam ritual keagamaan dimiliki oleh orang-orang barat atau non Hindu Bali. Dengan sedikit penjelasan ini, alangkah baiknya jika keluarga Hindu Bali setidaknya memiliki sebilah keris yang sudah di Pasupati.

Demikian juga tentang pengertian masyarakat Hindu Bali di masa sekarang terhadap makna dari pelaksanaan upacara Tumpek Landep sering kali dipersepsikan adalah hari pawetonan mobil dan motor. Pengertian yang demikian itu adalah keliru dan melenceng jauh dari makna sebenarnya, akan tetapi memang pada Tumpek Landep itu juga boleh dibuatkan upacara untuk kendaraan, namun bukan ini inti maknanya. Sarana inti pelaksanaan upacara Tumpek Landep adalah pada sebilah keris yang harus ada, karena keris tersebut juga menyimbulkan adanya Tri Bhuwana di Bhuwana Agung (Bhur-Bwah-Swah) dan Tri Bhuwana di Bhuwana Alit (Sabda-Bayu-Idep).

Tatanan Upacara Tumpek Landep
 Upakara munggah di Kemulan
  • Pejati lengkap asoroh
  • Tumpeng abang 2 bungkul lengkap dengan rerasmen, dengan sampian tumpeng, penyeneng semuanya memakai sarana daun endong bang (merah).
  • Canang Pesucian
Upakara ayaban sinistane mempergunakan tumpeng 5 bungkul
  • Banten tetebasan Pasupati
  • Banten prayascita, bayekawonan
  • Segehan abang 1 tanding
 Tatacara Pelaksanaannya
Pertama kali ngunggahang upakaranya di Kemulan rong tengah, sedangkan pada rong kiri dan kanan boleh menggunakan banten soda atau canang sari.
  • Pada rong tengah dari Kemulan, ngunggahang toya (air) berisi asaban cendana, majagau dan menyan serta berisi base tubungan 1 buah.
  • Kemudian mengambil sebilah keris atau tombak (intinya yang memiliki 3 mata pisau) sebagai simbol. Keris atau tombak tersebut dibersihkan dengan minyak wangi, kemudian diletakkan pada banten tebasan Pasupati yang sudah tertata di hadapan Kemulan.
  • Pemimpin upacara (penganteb) menyiapkan diri untuk nganteb upakara tersebut, dimulai dengan menyucikan diri dengan tirtha pebersihan.
             Ong... Jalasidhi Maha Sakti
             Sarwa Sidhi Maha Tirtha
             Siwa Tirtha Manggala Ya

             Sarwa Papa Winasaya
  • Pemimpin upacara mulai melaksanakan pengutpeti melalui pengastawanya.
             Mang, Ung, Ang, Wem, Ong
             Anantasana Ya Namah
             Ang... Ung... Mang... Wem... Ong Dewa
             Prethistha Ya Namah Swaha
  • Pangastawa Stiti Dewa ke hadapan Hyang Shiwa Raditya.
             Ong Adityasya Paranjyotir 'aktateja
             Nama'stute Sweta Pangkaja
             Madyaste, Bhaskara Ya Namah Swaha
             Ong Hrang Hring Syah
             Parama Siwa Ditya Ya Namah Swaha
  • Pangastawa ke hadapan Sang Hyang Tri Murti
             Ong Dewa Dewa Tri Dewanam
             Tri Murti Trilinggadmanam
             Tri Purusa Sudha Nityam
             Sarwa Jagat Pranamyanam
             Ong Hrang Hring Syah Tri Murti
             Ya Namah Swaha
  • Pangastawa ke hadapan Sang Hyang Pasupati
             Ong Nama Dewa Ya Shiwa Ya
             Sangkara Ya, Rudra Ya,
             Isana Dipataye Sri Pasupati
             Ya Namah Swaha
  • Sesontengan :
             Sang tabeya nama Shiwa ya, pukulun paduka Bathara Sang Hyang Siwa
             Raditya, Sang Hyang Wulan Lintang Tranggana meraga Sang Hyang Triodasa
             Saksi, Sang Hyang Tri Murti, mekadi Sang Hyang Pasupati, saksinin
             pangubhaktin pinakengulun, angaturaken tadah saji pawitra seprakaraning saji
             pasupati asung kertha nugraha Bathara anugraha ripinakengulun, kesidhian,
             kesaktian, kemandian, manut ring swadharmaningulun nanging akedikulun
             angaturaken, agung pinakengulun amelaku, mangda tan keneng kecampahan,
             cakrabhawa, tulah pamidi de paduka Bathara kinabehan.
             Ong sidhirastu pujaningulun.
  • Sesudah itu ngaturang pesucian dengan memercikkan tirtha prayascita, bayekawonan, pesucian dan penyeneng ke arah bangunan suci kemulan dan kepada senjata yang menjadi simbol baik itu keris atau pun tombak. (Baru kemudian kepada kendaraan mobil dan motor).
  • Selanjutnya mengucapkan mantra Pabhuktyan Dewa.
              Ong... Bhuktyantu Sarwa Ta Dewa
              Bhutyantu Srilokanatha
              Segana Separiwarah
              Swarga Sadha Siwasca, Ong... Ang... Ah...
              Amertha Sanjiwa Ya Namah
              Ang... Ung... Mang... Siwa Mertha

              Ya Namah Swaha
  • Selanjutnya mengucapkan mantra Pangaksama Dewa yang mengandung maksud, untuk memohon maaf kehadapan Sang Hyang Widhi atas kekurangan-kekurangan sebagai manusia.
              Ong... Ksama Swamam Maha Dewa
              Sarwa Prani Hitangkarah
              Mamoca Sarwa Papebhyah
              Phala Ya Swa Sadhasiwa

              Papaham Papa Karmaham
              Papatma Papa Sambawa
              Trahimampun Dari Kaksah
              Sabahya Byantara Suci

              Ksantawya Kayika Dosah
              Ksantawya Wacika Mamah
              Ksantawya Manahsa Dosah
              Tat Pramadat Ksama Swamam


              Om Shantih, Shantih, Shantih Om
  • Kemudian Sang Penganteb memimpin persembahyangan bersama, sampai selesai metirtha, dan memakai bija. Maa selesailah sudah pelaksanaan dari upacara Tumpek Landep.
Rahayu... Damai dan Cinta Kasih untuk semua... _/\_
Sumber : "Ajaran Agama Hindu (Acara Agama)" Oleh Drs. I.B. Putu Sudarsana, MBA. MM. Yayasan Dharma Acarya Denpasar Bali.

Senin, 02 Mei 2011

SARANA PEMUSPAN

Ada 3 inti dari sarana pemuspan (persembahyangan) yang digunakan penganut Hindu Bali (Çiwa Buda), yaitu Bunga, Air dan Api.

A. Bunga

Fungsi bunga bila dipandang dari sudut persembahyangan adalah memiliki makna antara lain :

1.Sebagai simbol kekuatan Merutha (Angin)

Bunga sebagai simbol kekuatan angin dengan prabhawa dari Sang Hyang Widhi yang disebut Sang Hyang Iswara. Dalam kekuatan Sang Hyang Iswara ini berfungsi sebagai peleburan letuhing sarira (kekotoran Jiwa) bertujuan untuk penyucian diri. Salah satu bentuk pelaksanaannya adalah dengan cara mengusapkan sehelai bunga pada kedua telapak tangan (Kara Sedana), pada saat inilah penganut Hindu Bali memohon penyucian diri dari Kekuatan Sang Hyang Iswara.

2. Sebagai simbol Dewa (Div = Sinar Hyang Widhi)

Dikatakan sebagai simbol kekuatan Dewa di Bhuwana Alit (tubuh manusia) untuk merangsang keheningan pikiran penganut Hindu Bali pada saat itu. Dengan munculnya keheningan itulah sesungguhnya sebagai simbol kekuatan Dewa dalam diri manusia.

3. Sebagai simbol kekuatan Intuisi

Dikatakan sebagai simbol kekuatan intuisi karena sehelai bunga akan disematkan di telinga (laki-laki) atau di rambut (perempuan) setelah memohon Tirtha (Air suci/ Wangsuh Pada Ida Bathara). Hal ini mengandung maksud, setelah penganut Hindu Bali memohon kekuatan penyucian dan Amertha Kehuripan (Kehidupan Langgeng), penganut Hindu Bali juga memohon Kepagehan (Keteguhan) jiwa yang suci selama hidup. Hal ini sesuai dengan petunjuk sastra agama, Yaitu :

"Om Puspadanta Dija Ya Namah Swaha"

Artinya : Hyang Widhi sebagai sumber kekuatan yang maha suci, anugerahilah penyembah Mu kelanggengan kesucian jiwa selama hidup.

B. Air

Dalam kegiatan upakara (upacara agama) menurut keyakinan Hindu Bali, keberadaan air merupakan hal yang sangat penting sebagai sarana memohon anugerah Amertha (kekuatan hidup) dan kesucian dari Sang Hyang Widhi, maka dari itu air memiliki beberapa fungsi dalam pelaksanaan upakara, antara lain :

1. Air sebagai sarana memohon penyucian.

Air adalah sarana untuk memohon penyucian, terutama dipakai saat melaksanakan persembahyangan dengan cara membilas tangan sebagai pertanda memohon kekuatan peleburan letuhing sarira (kekotoran jiwa) kehadapan Sang Hyang Widhi dengan Prabhawa sebagai Sang Hyang Wisnu sesuai petunjuk sastra agama, yaitu :

"Om Rahpat Astra Ya Namah

Om Jang Jiwa Sudha Ya Namah

Om Ung Wishnu Angelebur Dasa Mala Geleh Pateletehi Sarira"

Maksudnya : Sang Hyang Widhi, hamba memohon penghangusan dan peleburan segala bentuk kekotoran agar jiwa hamba menjadi suci nirmala (tanpa kekotoran).

2. Air sebagai sarana untuk memohon kekuatan Amertha (kekuatan hidup)

Sebagai pertanda selesainya suatu upakara, dimana pelaksanaan pemercikan air suci (Tirtha) yang terakhir dilaksanakan karena Tirtha mengandung kekuatan penyucian dan Amertha. Sesungguhnya Tirtha tersebut dapat mengandung kekuatan Panca Amertha, antara lain :

a. Amertha Sanjiwani, memiliki kekuatan kesucian skala niskala.

b. Amertha Kamandalu, memiliki kekuatan Kepradnyanan dan Kewibawaan.

c. Amertha Kundalini, memiliki kekuatan intuisi.

d. Amertha Pawitra, memiliki kekuatan peleburan segala bentuk kekotoran jiwa dan raga.

e. Amertha Maha Mertha, memiliki kekuatan pembebasan (Moksa)


C. Api

Api selalu menjadi pokok landasan dasar pelaksanaan upakara karena api sebagai simbol Sang Hyang Widhi dengan Prabhawa Sang Hyang Agni atau Brahma, yang merupakan sumber dari Widya (Pengetahuan) dengan saktinya yaitu Dewi Saraswati. Api juga sebagai sumber kekuatan pembakaran yang menghanguskan kekotoran dan kebutaan spiritual di Bhuwana Alit dan Bhuwana Agung.

Selain itu, juga sebagai simbol kekuatan Agni Homa dan Agni Hotra, seperti adanya api penimpug, api tekep, dan api dupa (Agni Hotra).

Sedangkan api yang lain seperti api linting pada banten pengelepasan AUM, api pedamaran pada Çiwa Upakrana (Agni Homa).

Demikian sedikit tulisan ini semoga bermanfaat.

Sumber :

~ Lontar Kotaraning Sembah (terjemahan Drs. Ida Bagus Sudarsana MBA, MM)

~ Lontar Weda Parikrama Sarahiota Samapta (terjemahan Drs. Ida Bagus Sudarsana MBA, MM)
~ Sumber-sumber lainnya...

DOA & AIR SUCI

Semuanya sebenarnya adalah cahaya. Setiap tulisan, kata-kata, benda memancarkan cahaya dan aura. Bahkan hal-hall yang dalam keseharian dianggap sederhana dan biasa seperti rasa syukur dan terima kasih, doa, tulisan dan ucapan yang baik sebenarnya memancarkan cahaya kebaikan yang dapat mempengaruhi dirinya dan lingkungan sekitarnya.

Doa

Kapanpun dan dimanapun kita berada, doa tidak mengenal waktu dan tempat. Apapun doanya, apapun agamanya, apapun keyakinannya. Karena doa adalah salah satu bentuk energi yang sangat tinggi. Apapun doanya, dalam bahasa apapun, dalam tulisan apapun, setiap doa memiliki energi murni yang dapat memberi kekuatan dan harapan,.

Setiap kata-kata baik, setiap tulisan dan perbuatan baik akan memancarkan cahaya yang sejuk, tenang, adem dan damai. Ini bisa dirasakan ketika kita membaca sebuah tulisan, mendengar seorang pembicara, di dalam hati akan merasakan suatu ketenangan dan keteduhan.

Seperi Bethoven yang tuli namun mampu menggubah karya masterpiecenya, begitu juga musik yang mengalun merdu itu terdiri dari cahaya-cahaya yang berpendar indah sesuai thema yang mengalir. Oleh karena itu disarankan bagi ibu yang sedang mengandung untuk mendengarkan lagu klasik Mozart dan Bethoven karena lagu itu bukan sekedar lagu, tapi ada alunan energinya yang mengalir dan dapat ditangkap getarannya oleh bayi yang masih ada di dalam kandungan. Ada pula tradisi di masyarakat Bali untk membisikkan Doa Gayatri di telinga bayi yang baru lahir, karena memang vibrasi, getaran dan aura Doa itu meliputi meliputi alam semesta ini, mikrokosmos dan makrokosmos.

Air Suci

Di beberapa agama dan aliran banyak menggunakan air suci. Di bali kita menyebutnya Tirta, di Mesir Air Zam-Zam, di Eropa Holly Water dsb. Ini juga ada hubungannya dengan aliran energi Doa tadi. Doa itu memiliki energi murni yang dapat mengalir dan merambat kepada siapapun dan dimanapun, kepada tubuh manusia secara langsung maupun melalui perantara. Salah satunya adalah air.

Air yang sering di di doakan, air yang berada di lingkungan tempat suci (Tirta ataupun air zam-zam) akan berada pada getaran yang lebih tinggi daripada air biasanya. Hal ini diperkuat dengan kristal-kristal air Masaru Emoto dimana bahkan kata sederhana seperti rasa Syukur dan Terima kasih itu memiliki kristal terindah yang pernah dia lihat. Hal ini menunjukkan secara fisik bagaimana air itu dapat bereaksi dengan Tubuh manusia yang sebgaian besar terdiri dari air. Tubuh manusia ini seperti miniatur bumi yang juga dua pertiganya terdiri dari lautan. Ketika kita mengucap syukur dan terima kasih hal itu tidak hanya mempengaruhi air di dalam tubuh kita tapi semestapun juga akan bereaksi dengan doa dan harapan kita.

Jadi jangan pernah meremehkan kekuatan rasa Syukur dan Terima kasih serta Kekuatan Doa dan Harapan. Sesuatu yang tidak terlihat dengan mata tapi sesungguhnya ada dan meliputi seluruhnya termasuk tubuh kita dan juga alam semesta. Dulu mungkin tidak tahu jika ternyata alunan nada dan Doa memiliki cahaya dan aliran energinya, tapi setelah membaca catatan ini semoga dapat membuka wawasan dan memberi pemahaman baru.

MENGGALI KEMBALI KEBIJAKSANAAN LELUHUR

Sebenarnya di Bali pun telah banyak yang melenceng dari adat yang murni atau pakem yang sesungguhnya berdasarkan sastra, sudah banyak aturan-aturan adat yang dibuat untuk memenuhi ego yang memiliki kepentingan. Tapi yang perlu dicatat itu adalah bukan adat dan agama yang harus dibuang atau ditinggalkan, namun sebaiknya bagi yang peduli maka kita dituntut untuk mengembalikan kepada track yang sebenarnya. Bebas dari ego dan kepentingan tetapi tetap tegas bagi orang yang malas dan merasa paling benar.



Ada yang mengatakan bahwa adat Bali ada sejak jaman Majapahit, bahkan ada yang lebih parah dengan mengatakan sejak jaman Belanda, itu omong kosong karena hanya kira-kira dan belum menelusuri lebih jauh lagi. Perjalanan perkembangan adat Bali mulai berkembang sejak jaman Rsi Markandeya, dimana sebelumnya pulau ini dikenal sebagai Buana Wangsul, kemudian diubah menjadi Wali Dwipa yang berarti kurban suci, dan akhirnya disebut Bali.



Setelah jaman Rsi Markandeya, adat yang ada pun disempurnakan kembali untuk meredam perseteruan antar sekte yang ada. Kejadian ini dikenal dengan Pesamuan Tiga (Samuan Tiga), yang menghasilkan penyatuan seluruh sekte yang ada menjadi satu wadah yaitu Siwa-Buddha. Samuan tiga terjadi di jaman pemerintahan Prabu Dharma Udayana Warmadewa (989-1011M) dengan permaisurinya Sri Gunapriya Dharmapatni (Mahendradatta) seorang putri Wangsa Isyana dari Kerajaan Medang (Mataram Kuno). Dan keduanya adalah orang tua dari Prabu Airlangga (Sri Maharaja Rakai Halu Sri Dharmawangsa Airlangga Anantawikramottunggadewa) yang mendirikan kerajaan Kadiri dan memerintahnya pada tahun 1009-1042M (lahir tahun 990M).



Dari sekilas data di atas, pertanyaannya, apakah sudah ada Majapahit? Apakah Belanda sudah masuk dan menjajah Nusantara?



Memang setelah masa Majapahit ada beberapa perubahan secara politik agar masyarakat Bali mau tunduk dan di atur di bawah pemerintah pusat Majapahit. Namun juga jangan lupa, Kadiri tetap menjadi ibu kota kedua dari Majapahit. Dan Purohita Majapahit banyak berasal dari keturunan raja-raja Kadiri. Bahkan untuk meredam gejolak Bali yang tidak mau tunduk begitu saja di bawah Majapahit, akhirnya ditunjuk Arya Kepakisan sebagai Maha Patih di Bali. Dimana Arya Kepakisan ini sendiri adalah keturunan dari Arya-Arya Kediri, keturunan dari Prabu Airlangga.



Bagi mereka yang hidup di tanah Bali tanpa menjalankan ritual budayanya silahkan, dan lihatlah bagaimana reaksi alam terhadap mereka. Tanah Bali itu berbeda dengan tanah lainnya di luar Bali, dengan tatanan adat dan budaya yang telah diwariskan oleh leluhur itulah mengapa Bali menjadi tempat satu-satunya di nusantara yang masih dapat menjunjung nilai-nilai dari leluhurnya sendiri, lebih dekat kepada jatidirinya sendiri, tidak kebingungan seperti kebanyakan orang di daerah luar Bali yang telah lebih banyak mengabaikan bahkan menghina kebijaksanaan leluhurnya sendiri.



Yang menjadi masalah saat ini adalah pola pikir orang yang bisa nya hanya protes tanpa tau dan ga mau tau esensinya. Sudah ga tau, ga mau cari tau trus menyalahkan... weleh-weleh... orang macam apa ya?



Pikiran memang yang kuat mempengaruhi diri seseorang, namun jangan lupa di atas pikiran ada tingkatannya lagi seperti Jiwa dan Atma yang jauh lebih berkuasa daripada sekedar pikiran, sekaligus dapat mempengaruhi pikiran karena tanpa keduanya pikiran tak akan bekerja. Begitu juga di alam raya ini. Saya berani mengatakan bahwa ada aturan adat dan budaya yang tidak bisa kita tinggalkan begitu saja, jika ingin merasakan yang namanya Moksartam Jagaditha Ya Ca Iti Dharma. Aturan yang ditetapkan juga berdasarkan kekuatan Tapa dan Yoga para leluhur. Cari tau apa itu yang sesungguhnya, dan bedakan dengan aturan yang hanya berdasarkan ego dan kepentingan sesaat. Ubah dan sesuaikan yang mengikuti ego dan kepentingan, dan luruskan kembali apa yang melenceng dari yang sebenarnya.



Orang barat bisa kita lihat sebagai kemajuan dalam berpikir, namun jangan begitu saja mengadopsi tanpa kita menyaring. Mereka maju, namun mereka pun kebingungan karena mereka selalu bergerak keluar. Dan ketika mereka memahami bahwa seharusnya bergerak ke dalam, mereka pun akan belajar dari filsafat kita (orang timur). Kita sudah diajarkan untuk bergerak ke dalam, di saat kita melakukan sesuatu di luar.



Bukan menolak sesuatu yang dari luar apalagi merendahkannya, namun saringlah, kemudian padukan dan raciklah dengan apa yang kita punya, kemudian masak hingga matang, kunyah dengan baik dan rasakan, baru kemudian telan. Inilah keahlian, kecerdasan dan kebijaksanaan leluhur kita. Jangan kita telan mentah-mentah segala yang datang tanpa diproses.



Menurut saya, kemampuan manusia untuk memahami dan meyakini sesuatu dapat dimulai dari rasa kemudian audio-visual untuk lebih menguatkan. Sedangkan orang barat cenderung membawa kita kepada bukti visual kasat mata, dengan lebih banyak mengabaikan rasa dan audio. Sedangkan leluhur kita telah banyak mendapatkan pengalaman dari segi rasa serta audio-visual, dimana audio-visualnya pun ada dua macam, yang kasat mata dan tidak kasat mata. Sesuatu yang lebih kompleks, yang hanya bisa diteliti lebih lengkap dengan penelitian rohani, bukan sekedar laboraturium fisik.



Sahabatku, bangsa Nusantara ini sebenarnya DITAKUTI oleh bangsa luar...



Bangsa luar lebih bisa melihat potensi bangsa ini, secara terselubung mereka mengakui kecerdasan serta kekayaan SDM dan SDA kita. Mereka akan selalu mengusik kita agar keluar dari diri kita, karena mereka akan sulit menguasai kita jika kita telah kembali kepada jati diri kita sebagai bangsa yang berdikari. Kembalilah menggali kebijaksanaan leluhur kita masing-masing, Bali kembali ke Bali, Jawa kembali ke Jawa, Sunda kembali ke Sunda, Sumatera kembali ke Sumatera dan seterusnya. Kembalilah kepada kebijaksanaan leluhur yang telah memiliki visi jauh kedepan dengan segala bentuk peninggalannya kepada kita para keturunannya.



Janganlah terkecoh jika ada pertanyaan apakah leluhur kita mendapatkan petunjuk?, namun yang perlu dipertanyakan adalah sudahkah kita menggali dan memahami secara maksimal petunjuk kebijaksanaan yang diwariskan dari leluhur kita sendiri?



Rahayu... Damai dan Cinta Kasih untuk semua...

LINGGA YONI

Lingga sebagai simbol purusa (maskulin/laki-laki) dan Yoni sebagai simbol Pradana/Prakerti (feminin/perempuan). Yoni posisinya sebagai penopang berdiri tegaknya Lingga dapat dimaknai menunjukkan kekuatan sifat feminin. Kedamaian dunia akan terwujud jika manusia lebih memiliki sifat feminin, misalnya kelembutan. Dalam segi fisik, laki-laki memang terlihat lebih kuat daripada perempuan. Ini karena beda tipe otot yang ada di tubuh laki-laki dan perempuan. Laki-laki dapat mengambil pekerjaan lebih berat daripada perempuan, namun kurun waktunya tidaklah lama. Sedangkan perempuan melakukan pekerjaannya dengan perlahan tapi dapat terus menerus. Hal ini juga dapat dilihat dari hubungan persenggamaan.



Kekuatan perempuan dapat dilihat dari pemberian Hyang Wenang, yaitu dipercaya untuk mengandung dan menyusui anaknya. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana merengeknya laki-laki jika diberikan untuk merasakan nyeri pada saat haid dan sakit saat akan melahirkan. Beratnya membawa beban bayi dalam kandungan namun harus tetap menyelesaikan tugas rumah tangganya. Laki-laki membutuhkan doa dari perempuan yang menyayanginya untuk mencapai hasil terbaik, entah dari istri atau ibunda tercintanya. Konon kabarnya, laki-laki selalu merindukan perempuan karena rindu akan masa kecilnya yang bahagia. Masa kecil saat dibelai sang ibu dan menyusu di payudara sang ibu. Perempuan lebih tegar dalam menghadapi hidupnya, laki-laki lebih mudah menyerahkan hidupnya dipangkuan perempuan. Berkeluh kesah bahkan dapat menangis meluapkan segala kekecewaan dan kepedihan hidup yang dijalani. Perempuan yang menjadi tempat luapan ini hanya perempuan yang memiliki sifat keibuan atau sang ibunda sendiri.



Ada ungkapan yang mengatakan bahwa "di belakang laki-laki yang berhasil dalam hidupnya ada berdiri sesosok perempuan yang bijaksana”.



Laki-laki pun dapat “hidup” karena ada perempuan, atau pengalamannya terhadap perempuan.



Perempuan selalu dapat menerima “kehidupan” untuk masuk ke dalamnya.



Seorang laki-laki selalu membutuhkan perempuan untuk menjadikan dirinya merasa lebih berarti. Sifat alami seorang perempuan adalah sifat keibuan, berkurangnya sifat keibuan dari perempuan yang beralih lebih ke arah maskulin saat ini membuat dunia semakin kacau.



Kesalahan dalam memaknai emansipasi inilah yang membuat kacau, seorang perempuan lebih mementingkan derajatnya agar disejajarkan dengan laki-laki, namun melupakan tugas utama mereka sebagai seorang ibu yang mengasuh anaknya dengan penuh belaian cinta kasih. Kadang ungkapan emansipasi ini disalah gunakan untuk menutupi ketidak mampuan seorang perempuan dalam mengurus rumah tangga.



Sifat malas untuk belajar dan merealisasikan sifat keibuannya mempunyai pelarian yang baik dengan menyalah artikan emansipasi.



Bukan maksud saya menjelekkan perempuan, namun ketidakmampuan perempuan mewujudkan sifat feminin dan keibuan asli inilah yang membuat laki-laki dan anak-anak dari para ibu tak mampu berdiri dengan tegak dalam membangun kehidupan.



Saya tidak lagi menggunakan kata wanita yang bermakna "wani di tata", tetapi saya lebih suka menggunakan kata perempuan yang bermakna yang mengempu yaitu sifat mengasuh dan membimbing sebagai tanggung jawab utama seorang perempuan. Sekarang tinggal pertanyaannya, maukah kaum perempuan menjadi seorang perempuan dan bukan lagi seorang wanita?



Rahayu... Damai dan Cinta Kasih untuk semua... _/\_

PAWETONAN / OTONAN

Menurut pandangan ajaran Hindu Bali (Çiwa Buda), kelahiran kembali menjadi manusia SANGATLAH BERUNTUNG dan MULIA walaupun masih membawa Karma Wasana kehidupan terdahulu. Akan tetapi masih jauh lebih baik jika dibandingkan kelahiran (numitis/reinkarnasi) menjadi binatang atau tumbuh-tumbuhan. Setelah lahir menjadi manusia, kita dipengaruhi kekuatan TRIPRAMANA yaitu SABDA (suara), BAYU (tenaga), IDEP (pikiran). Dari sinilah kita sebaiknya berpikir, ADAKAH YANG MELAHIRKAN? ADAKAH YANG DIAJAK LAHIR? APA YANG SEBAIKNYA DILAKUKAN SETELAH LAHIR?



Melalui pertanyaan-pertanyaan inilah sesungguhnya para Janadharmika (orang yang mematuhi ajaran agama) atau umat, mulai menghayati diri sendiri dan mencari jawabannya yang belum tentu ditemukan pada semua ilmu pengetahuan di dunia kecuali pada DIRI SENDIRI dengan bantuan sebuah CERMIN yaitu Ajaran Agama.



Sesungguhnya hari lahir ke bumi merupakan JALAN BY PASS bagi JIWA dari BWAH Loka menuju BHUR Loka (Mercapada) ini, untuk mengambil kesempatan yang diberikan oleh Sang Hyang Widhi dalam rangka MEMPERBAIKI KARMA WASANA dari hasil karma di kehidupan yang terdahulu. Reinkarnasi Jiwa ke bumi ini mengambil bentuk badan kasar/jasad. Sebagai bukti adanya kelahiran dan kehidupan di bumi ini tergantung kepada karmanya masing-masing Jiwa. Ada yang mengambil bentuk manusia, ada bentuk binatang dan ada juga yang mengambil bentuk tetumbuhan. Hal ini dapat diketahui secara nyata berdasarkan penganalisaan dan penelitian secara seksama dan mendalam serta harus didasari oleh keyakinan dan kepercayaan Hindu Bali tentang ajaran SAMSARA, misalnya :

Dengan sosok tubuh manusia, tetapi jika yang bersemayam di dalamnya adalah Jiwa yang sebelumnya adalah Jiwa dari binatang, dapat dilihat dari perilakunya. Maka dari itu ada manusia yang berperilaku seperti binatang, seperti manusia bersetubuh dengan binatang, bersetubuh dengan anak kandungnya sendiri, sebagai pembunuh yang kejam dan sadis, membunuh dan menganiaya orang tua kandungnya, dll.



Dari salah satu contoh yang diungkapkan di atas inilah memerlukan upacara pawetonan sebagai penetralisirnya yang disebut "BEBAYUH OTON", karena kata bayuh dapat diartikan sebagai bayah yang maksudnya untuk menetralisir sifat-sifat kebinatangan (Asubha Karma) atau GAMIA dan GAMIA GEMANA. Jiwa binatang bisa bersemayam pada tubuh manusia karena pada saat ia menjadi binatang mendapat PENYUPATAN dari manusia pada saat dibunuh untuk sarana YADNYA (kurban suci). Untuk lebih jelasnya berikut ini adalah salah satu petikan dari sumber ajaran agama Hindu Bali :

Sa, ba, ta, a, i, ih, kita sang dua pada muah sang catur pada, ingsun umawak Sang Hyang Shiwa Dharma, ayupa sira, apan kita anadi yadnya aja mamilara ring sang adruwe yadnya rengenang tutur mami ri sira, ingsun amretista sira, metu sira ring awak walunan mangaliha sira sunia mangetan, muang mangidul, aja lupa sira ring tutur kepatian pasang sarga ta sira ring Bharata Iswara, muang Bhatara Brahma, riwekasan numadi sira manadimanusa pradnyan, wiku dharma, muah manadi manusia sidhi, sakti, mawibawa, lah poma, ah, ... ang, ... e,...

(Pemujaan Pepada, 23 koleksi Ida Pedanda Gede Kekeran Pemaron).



Menyimak dari isi petikan di atas, dapat diambil pengertiannya bahwa Jiwa itu adalah sama, yang membedakan hanyalah getaran Karma Wasananya yang berbeda-beda. Hali ini seperti molekul-molekul, bentuk molekulnya sama tetapi sifat molekulnya yang berbeda-beda. Demikian juga Jiwa yang bersemayam pada manusia dapat bersemayam pada sosok binatang pada perjalanan reinkarnasi berikutnya akibat karmanya semasa hidup yang lebih sering berbuat jahat atau buruk (Asubha Karma) atau diibaratkan seperti BURUNG BEO, mampu berbahasa seperti manusia namun tidak memahaminya. Jika Jiwa tetumbuhan bersemayam pada sosok tubuh manusia saat reinkarnasi maka menjadi manusia yang idiot, secara umum, orang idiot kalau makan harus disuapi, mandi tidak bisa sendiri, hanya memiliki EKA PRAMANA (BAYU) saja, tidak bisa melakukan kegiatan untuk dirinya sendiri. Demikian pula sebaliknya, jika Jiwa manusia bersemayam pada bentuk tetumbuhan, maka menjadi tetumbuhan yang utama seperti yang bisa untuk obat-obatan (USADHA), Pohon Beringin, Pohon Cendana, Bunga-bungaan, dll.



Dari uraian di atas, dapat diambil maknanya bahwa menjadi manusia sangatlah utama dan mulia. Maka sangat perlu memperhatikan, menghayati dan mengamalkan SWADHARMA-nya sebagai manusia. Termasuk melaksanakan peringatan upacara pawetonan setiap enam bulan sekali sesuai dengan hari dan wuku kelahirannya. Di masa sekarang, apakah karena pengaruh jaman khususnya Janadharmika Hindu Bali (Çiwa Buda) dalam BUDAYA PAWETONAN TELAH MENGALAMI EROSI. Dengan melihat di lapangan banyak umat Hindu Bali (Çiwa Buda) malas membuat upakara pawetonan. Lebih senang mencari yang praktis yaitu mengadakan peringatan HARI ULANG TAHUN, padahal ulang tahun tersebut adalah di luar kepercayaan Hindu, bahkan sering kali perayaan ulang tahun justru menghabiskan biaya yang jauh lebih besar daripada membuat upakara Pawetonan.



Sesungguhnya upakara pawetonan tersebut telah mengandung kekuatan magis, dimana kekuatan magisnya itulah sebagai penetralisir kekuatan-kekuatan magis manusia yang cenderung bersifat asubha karma, untuk dikendalikan ke arah subha karma agar selaras dan seimbang dengan Bhuwana Agung sesuai dengan swadharma-nya sebagai manusia. Untuk lebih jelasnya berikut ini adalah pendekatan berdasarkan salah satu sumber ajaran Hindu Bali (Çiwa Buda), yaitu :

"Sang Ukir, wateknia 18, uripnia 7, pengawak Shiwa, dadi Sang Butha ngawe waringin kekayonia, waruya manuknia, lintangnia lintang bade, memes rambutnia, ireng warna awaknia, someh budinia, tama ambeknia, gedongnia menga, lumbungnia misi, pinilara den sang butha ngawe, larania, rumpu, watuk, weteng mamarning pinilara desang butha ngawe, denia anglidrangi Sang Hyang Baskara, panudaning lara diniyus kinurungan ring tegal pinggiring alas ring pawetonania kwehing toya, 17 pancoran, pujania "Shiwa Gemana." "

(Lontar Udayadnya, lembar ke 25)

Artinya :

Orang yang lahir pada wuku Ukir, memiliki karakter atas pengaruh 18 bintang dengan kekuatan 7 mudra (perputaran bumi), kayunya beringin, burungnya warunya, pengaruh buruknya adalah kecongkakan, rambutnya halus, warna kulitnya kehitaman, berbudi, ramah, penyabar, agak boros walaupun punya rejeki, dewanya Hyang Shiwa, Buthanya Sang Butha Ngawe, disakiti oleh butha ini karena dia lahir mendahului terbitnya Sang Hyang Surya, sakitnya lumpuh, batuk-batuk, sakit perut, sebagai penetralnya harus melakukan penyucian diri pada hari pawetonan tempatnya pada kebun di pinggir hutan, dengan pengastawa (Stawa) "Shiwa Gemana".



Mengambil makna dari isi petikan lontar di atas bahwa upacara tersebut memiliki magis sebagai penetralisir asubha karma agar manusia memiliki keseimbangan dengan TUHAN-nya, keseimbangan dengan LINGKUNGAN-nya, dan keseimbangan ANTAR MANUSIA-nya. Disamping itu upacara pawetonan memiliki fungsi penyucian secara Jiwa Raga yang memiliki tujuan untuk mencapai KEDAMAIAN DI HATI, DI BUMI dan DI NISKALA. Hal inilah yang menjadikan konsep yang paling mendasar dalam mencapai :

MOKSHRTAM JAGADITHA YA CA ITI DHARMA dan MOKSHRTAM ATMANAM.



Konsep ini memberikan salah satu pengertian bahwa, selama hidup di bumi harus selalu berbuat untuk kebajikan (subha karma), tetapi karena ada JERAT sebagai MAYA nya Sang Hyang Widhi untuk mematangkan Jiwa manusia, maka manusia dibelenggu kekuatan maya tersebut. Sekarang tergantung dari kejelian dan instrospeksi diri dari belenggu masing-masing manusia, agar mampu melepaskan diri dari belenggu tersebut, termasuk PENGHAYATAN dan PENGAMALAN UPACARA PAWETONAN.

TATTWA PAWETONAN



Untuk memahami tattwa pawetonan, ada baiknya terlebih dahulu kita membahas tentang kelahiran manusia berdasarkan tuntunan ajaran Agama, antara lain :



1. Tri Angga

Manusia yang lahir ke bumi adalah dalam bentuk 3 (tiga) badan (Tri Angga) yaitu :



a. Suksma Sarira

Badan Suksma Sarira ini dibentuk atman karena atma merupakan percikan dari Sang Hyang Widhi (Parama Atma), kemudian di dalam diri manusia atman bermanifestasi memberi kehidupan kepada Jiwa dan Raga, serta memiliki kemurnian, kesadaran mutlak (Cetana) sesuai dengan kemurnian Sang Hyang Widhi.



b. Anta Karana Sarira (Jiwa)

Jiwa merupakan percikan dari atman, sebagai badan penggerak (Badan Penyebab), dan pada mulanya memiliki kesucian yang sama dengan atman. Setelah ada proses pertemuan antara Jiwa dengan raga ini, maka Jiwa pun dipengaruhi oleh karma wasana, sehingga kemurnian Jiwa ini menjadi berubah (yaitu tertutupi oleh debu2 dosa yang menempel). Dengan perubahan ini maka badan ini disebut Roh.



c. Stula Sarira (Badan Kasar/Raga)

Badan ini terbentuk oleh Panca Maha Butha, yang dihidupkan oleh badan atman dan sebagai badan penggeraknya adalah roh, sehingga manusia kelihatan hidup dan bisa berkarma (berbuat).



Dari uraian di atas, maka diperlukannya pelaksanaan Upacara Pawetonan untuk menetralisir asubha karma yang merupakan efek dari ketidakmurnian Jiwa tersebut. Dari ketiga badan tersebut sesungguhnya memiliki kekuatan magis, dan masing-masing kekuatan memiliki manifestasi dan swabhawa masing-masing.



Atma memiliki swabhawa sebagai "Mahat" yaitu ranah pikiran yang tertinggi (Supra Sadar) yang kemudian muncul sebagai Intuisi, yang merupakan kesadaran asli Sang Hyang Widhi (Cetana). Sehingga manusia memiliki kekuatan Supranatural, dan mencerminkan perasaan damai, tentram dan sifat-sifat Super Egois. Sedangkan Jiwa memiliki swabhawa sebagai "BUDHI" dalam istilah bahasa sansekerta, berasal dari akar kata kerja "BUDHH" yang bermakna KECERDASAN, mengetahui, memahami, berpikir dan bijaksana.



Menurut pandangan tattwa sehubungan dengan perubahan ranah pikiran manusia dengan fungsi untuk mengklasifikasikan dan menentukan segala keputusan yang baik, maka sangat dibutuhkan bahwa manusia memiliki kejiwaan yang baik. Manusia harus dapat meningkatkan nilai kesucian diri, dari segala cara termasuk pelaksanaan upacara pawetonan, karena dari sini sumber timbulnya tingkat moral yang baik. Seseorang yang selalu bertindak berdasarkan atas keputusan buddhinya adalah orang yang bijaksana. Dari sini juga mencerminkan kecemerlangan serta perasaan suka.



Stula Sarira memiliki swabhawa sebagai "AHAMKARA", yang merupakan kelanjutan proses dari mahat juga, yaitu terdapat di bagian dalam ranah pikiran yang merupakan alat untuk dapat merasakan berpikir dan berbuat. Menurut sifat dan fungsinya, ahamkara ini dapat digolongkan menjadi tiga bagian antara lain :
Ahamkara-Waikrta

Ahamkara ini merupakan bagian dari pikiran yang bersifat Sattwam dan dari Manah (akal) beserta indrianya, berfungsi untuk berpikir dan merasakan sesuatu.
Ahamkara-Taijasa

Ahamkara ini juga merupakan bagian dari pikiran yang bersifat Rajasa (Aktif dan Dinamis) berfungsi untuk membantu gerak atau berbuat sehingga dapat mencerminkan sifat aku (egois) dan sifat pemarah.
Ahamkara-Bhutadi

Ahamkara ini juga merupakan bagian dari pikiran yang bersifat Tamas (Lamban) dan berfungsi untuk menumbuhkan unsur-unsur raga (Panca Maha Bhuta). Hal inilah yang membawa sifat malas, kebingungan, kelaparan dan sakit.



Sangka ring budhi metu sang ahamkara, telu prakarania, luirnia, satwika, rajasa, tamasa. Nahan bedania si waikrta yeka satwika, si taijasa yeka rajah, si bhutadi yeka tamah. Sangka ring ahamkara si waikrta metu tang manah lawan dasendriya, luwirnia, srota, twak, caksu, jihwa, ghrana wak, pani, pada, payu, uphasta. Sangka ring ahamkara si bhutadi metu tang panca tan matra, ikang ahamkara si taijasa yeka umilu mametwaken karyan ikan ahamkara si waikrta lawan si bhutadi, apan maka swabhawa mangulahaken.



Artinya :

Dari budhi muncullah ahamkara, ada tiga macam yaitu, satwika, rajasa, tamasa, bedanya adalah ahamkara si waikrta bersifat satwika, ahamkara si bhutadi bersifat tamak. Dari ahamkara si waikrta timbullah manas (akal) dasendria yaitu srotendriya, twakindriya, cakswindriya, jihweindriya, ghranendriya, wagindriya, panindriya, padeindriya, paywindriya, uphastendriya. Dari ahamkara si bhutadi timbullah panca tan matra (panca maha bhuta), sedangkan ahamkara si taijasa turut membantu menimbulkan aktivitasnya ahamkara karena bersifat menggerakkan.



Sehingga dari uraian di atas maka manusia lahir ke bumi adalah terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut :
Dari unsur Sang Hyang Widhi dengan adanya Atma, sehingga manusia kelihatan hidup dan memiliki kekuatan supranatural, memiliki intuisi, memiliki rasa bahagia, tentram dan damai, serta berpikiran suci.
Dari unsur Dewa (Dewa Oton) dengan adanya Jiwa sebagai badanpenyebab, sehingga manusia bisa beraktivitas, memiliki perasaan gembira dan suka, memiliki kebijaksanaan, bisa mengasihi dan memiliki pancaran KHARISMA (Taksu).
Dari unsur karma wasana yang dibawa dari kehidupan terdahulu, sehingga manusia memiliki perasaan sedih, bisa menangis, sabar, serta adanya PITARA.
Dari unsur Panca Maha Bhuta, dengan adanya sosok tubuh manusia mengakibatkan manusia mengalami kegelapan atau kebingungan (Unsur Bhuta), bisa marah (Unsur Kala), dan bisa sakit (Unsur Durga). Hal inilah yang lebih berpengaruh sehingga manusia bisa berbuat adharma (asubha karma).



Sehingga secara keseluruhan manusia saat hadir di bumi ini terdiri dari Atma, Dewa (Dewa Oton), Watak Apsari, Pitara (Getaran Karma Wasana), Bhuta, Kala dan Durga. Dikatakan adanya atma karena manusia hidup, dewa mencerminkan manusia dapat berbuat kebajikan, ada watak apsari karena manusia memiliki perasaan riang, suka cita, ada unsur bhuta kala mencerminkan bahwa manusia bisa kegelapan, kemarahan, berbuat yang tidak terpuji (asubha karma) dan yang terakhir adalah unsur durga yang mencerminkan manusia bisa sakit dan mati (pralina).



Semua unsur ini berpengaruh terhadap manusia secara positif atau pun negatif. Adapun pengaruh ini tercermin melalui Tri Kaya yaitu Kayika (perbuatan), Wacika (perkataan) dan Manacika (Pikiran). Maka Tri Kaya ini harus disucikan (Tri Kaya Parisudha) melalui pengamalan ajaran Catur Yoga yakni :
Jnana Yoga, dengan belajar untuk meningkatkan pengetahuan dari segala aspek untuk mengimbangi kebodohan.
Karma Yoga, dengan perbuatan sebaiknya selalu mengarah pada kebajikan, karena setiap kebajikan adalah Dharma.
Bhakti Yoga, sebaiknya selalu memiliki pemikiran bahwa korban suci (Yadnya) yang dilandasi dengan sembah yang penuh ketulusan hati ke hadapan Sang Hyang Widhi.
Raja Yoga, melakukan Tapa, Brata, Yoga dan Samadhi yang juga merupakan Dharma.

Keempat pengamalan tadi sesungguhnya telah saling terkait menjadi satu kesatuan yang memiliki integritas yang tinggi di dalam setiap kegiatan keagamaan, karena memiliki kekuatan magis sebagai sarana PELEBURAN DOSA manusia.

SARASWATI

Kata Saraswati berasal dari suku kata "Sara-Su-Wati", Sara berarti Panah, dan kata panah berasal dari kata "Bana", kemudian menjadi kata "Banah", yang dapat dimaknai sebagai "Ketajaman Adnyana (cerdas)". Banah menjadi Panah adalah perubahan menurut "p-b-w". Suku kata Su bermakna "Luwih" atau lebih baik. Suku kata Wati bermakna "Ayu" atau cantik, indah atau menarik. Dengan demikian makna dari hari suci Saraswati adalah :

"Amoliha Kepradnyanan Sane Mautama, Pacang Anggen ngemolihang kasukerthan".

Maksudnya, dengan dianugerahkan kecerdasan oleh Sang Hyang Widhi, maka manusia tersebut akan mampu menolong dirinya sendiri dari lembah kesengsaraan serta berwawasan kebijaksanaan sehingga mampu memilah-milah mana yang benar dan tidak benar diantara kebajikan dan keburukan. Oleh karena itu pada pelaksanaan hari suci Saraswati adalah untuk memohon kepradnyanan (kecerdasan) kehadapan Sang Hyang Widhi, agar nantinya bisa melewati samudra kesengsaraannya sehingga mencapai "Mokshrtam Jagaditha Ya Ca Iti Dharma dan Mokshrtam Atmanam".



Tata Upacaranya menurut tuntunan Hindu Bali :

1. Upakaranya

* Upakara munggah di Kemulan

- Banten Pejati asoroh

- Banten Saraswati

- Canang Pesucian

* Upakara pada Lontar/Buku

- Soda putih kuning

- Banten Saraswati

- Canang Pesucian

* Upakara Ayaban

- Banten Pejati asoroh, suci alit

- Banten Ayaban senistane tumpeng 7 bungkul

- Sesayut Amertha Dewa

- Sesayut Puspa Dewa

- Sesayut Pebersihan

- Sesayut Pasupati

- Sesayut Yoga Sidhi

- Banten Prayascita, Bayekawonan, Rantasan warna merah, Pesucian.

- Segehan nasi abang/merah 9 tanding.



2. Tatacara Pelaksanaannya

* Menata upakaranya, dan Sang Penganteb menyiapkan diri.

* Sang Penganteb mengucapkan mantra penyucian upakara, yaitu :

Ong, Jala Sidhi Maha Sakti

Sarwa Sidhi Maha Tirtha

Shiwa Tirtha Manggalaya

Sarwa Papa Winasanam

Ong Sriyambhawantu

Sukam Bhawantu

Purnambhawantu Namah Swaha

* Kemudian Sang Penganteb mengucapkan mantra pengastawa

- Ke hadapan Sang Hyang Shiwa Raditya

- Ke hadapan Sang Hyang Shiwa Guru

- Ke hadapan Sang Hyang Saraswati

Ang, Ung, Mang, Ong, Yang, Saraswati Parama Sidhi Yanamah Swaha

Ang, Ung, Mang, Sang Hyang Guru Reka Yanamah Swaha

Ang, Ung, Mang, Ang, Ah Sang Hyang Kawiswara Yanamah Swaha



Sesontengan :
Nastuti pukulun, paduka bathara Sang Hyang Shiwa Raditya, Sang Hyang Wulan Lintang Trenggana, meraga Sang Hyang Tria Dasa Saksi, Sang Hyang Shiwa Guru, mekadi Sang Hyang Saraswati, Sang Hyang Guru Reka, Sang Hyang Kawiswara... saksinin pangubaktin pinakengulun, angaturaken tadah saji pawitra, saprekaraning daksina, anyenengana de paduka Bathara Kinabehan, pinakengulun amelaku padiyusan, alelenga areresiki, akekampuh, srede paduka Bathara ayogani atur pinakengulun, akedik ipun angaturaken agung ipun amelaku, mangda tan keneng cakra bhawa tulah pamidi de paduka Bathara, angraris paduka Bathara angayapsari, anyumput sari, angisep sarining yadnya, den wus tinekapana, dena sredah paduka Bathara anugrahi Amertha kepradnyanan ring manusanira manut ring karman ipun. Ong Sidhi Rastu Tat Astu Astu Namah Swaha.



* Selanjutnya Sang Penganteb memercikkan tirtha bayekawonan, prayascita, pesucian,

penyeneng, dan rantasan, ke Pelinggih Kemulan, kemudian pada Lontar/buku.

* Kemudian Sang Penganteb ngaturang banten ayabannya dengan mengucapkan mantra

(sama seperti di atas)

* Selanjutnya Sang Penganteb menuntun persembahyangan bersama. Namun sebelumnya,

memercikkan terlebih dahulu tirtha bayekawonan dan prayascita kepada masing-masing

Janadharmika (umat). Setelah selesai persembahyang lanjutkan dengan metirtha dari tirtha

di ulun banten (pejati di ayaban) dan dari Pelinggih Kemulan kemudian mengenakan wija.



Setelah selesai melaksanakan persembahyangan, upakaranya masih nyejer (belum boleh dibongkar) karena menunggu persembahyangan pada dauh "YOGA", yaitu sekitar pukul 02:00 dini hari, sehingga harus Jagra (tidak tidur) sampai selesai persembahyangan pukul 02:00 dini hari ini selesai.



Oleh karena itu, untuk menghilangkan rasa kantuk dibuat kegiatan seperti Dharma Tula, membaca kitab kekawin kekidungan (Dharma Shanti), atau melaksanakan Dharma Wacana. Setelah menginjak pukul 02:00 dini hari, Janadharmika sudah mulai mempersiapkan diri untuk melaksanakan persembahyangan serta melaksanakan yoga samadhi (meditasi) sampai selesai. Setelah itu memohon tirtha kepradnyanan, sampai selesai memakai wija, selanjutnya nyurud ayu (ngayab banten tersebut).



Keesokan harinya, pada hari Redite/Minggu-Pahing-Wuku Shinta, secara tattwa dan etika agama, memendak Amertha yang dianugerahkan oleh Sang Hyang Saraswati, yang berada di tengah samudra yang disebut "Amertha Kamandalu". Oleh karena itulah Janadharmika berduyun-duyun datang ke laut untuk memohon Amertha tersebut.



Pengertian dan persepsi dari Janadharmika banyak yang belum memahami etika memohonnya, berupa tatanan pelaksanaannya. Banyak yang menganggap bahwa dengan datang ke laut kemudian mandi itu sudah melaksanakan "Mebanyu Pinaruh". Sesungguhnya dalam pelaksanaan tersebut memiliki etika sebagai berikut :
Pada waktu kita datang ke laut dengan berpakaian lengkap, sambil membawa upakara senistanya yaitu membawa Canang Sari, segehan dan persiapan perlengkapan sembahyang lainnya. Setibanya di pantai, menghaturkan Canang dan Segehan ke hadapan Sang Hyang Sapta Segara, memohon panglukatan serta memohon Amertha Kamandalu, selanjutnya baru membuka pakaian dan mandi serta keramas.
Sesudah selesai mandi, datang ke sebuah Pura yang ada kaitannya dengan manifestasi Sang Hyang Widhi di laut, seperti di Pura Segara dll. Di sana menghaturkan banten dan melaksanakan persembahyangan dengan permohonan ke hadapan "Sang Hyang Shiwa Baruna". Upacara Banyu Pinaruh mengandung makna yang sangat tinggi untuk kepentingan kehidupan Janadharmika di bumi ini. Oleh karena itu melaksanakan upacara Banyu Pinaruh diharapkan agar tidak asal-asalan, sebaiknya diketahui lebih dahulu tentang besarnya nilai Religiomagis nya pada hari tersebut. Pelaksanaan Banyu Pinaruh ke laut atau ke sebuah danau atau sungai adalah pada dauh "Amertha" atau dauh "Biomantra", sekitar pukul 04:00 pagi. Karena pada saat waktu tersebut, air masih mengandung kekuatan magisnya (Bio). Akan tetapi setelah matahari bersinar, kekuatan magis air tersebut telah terhisap oleh matahari. Makna Banyu Pinaruh dapat dijelaskan sebagai berikut, kata Banyu berarti Air dan air dalam pengertian agama adalah Tirtha. Sedangkan Tirtha sehubungan dengan kehidupan di bumi memiliki pengertian sebagai Amertha. Kata Pinaruh berasal dari kata "Pinih" dan "Weruh" sedangkan kata pinih berarti Utama, dan Weruh artinya mengetahui, dengan mengetahui berarti cerdas (Pradnyan). Dengan demikian Banyu Pinaruh mengandung makna dan pengertian memohon tirtha sebagai kekuatan Amertha Kepradnyanan (Kecerdasan).
Setelah datang dari laut, Janadharmika membuat air kumkuman (air kembang) dan kemudian menyirami kepala dengan air kumkuman tersebut. Hal ini mengandung tujuan agar hati sanubarinya tetap dalam keadaan harum dan damai.
Selanjutnya Janadharmika menghaturkan Rayunan Yasa pada setiap pelinggih. Hal tersebut mengandung tujuan sebagai bahasa simbolis bahwa Janadharmika memohon ke hadapan Sang Hyang Saraswati agar menganugerahkan kepradnyanan sesuai dengan kerthi yasa nya (Swadharma-nya) masing-masing.
Setelah menghaturkan rayunan yasa, Janadharmika kemudian metirtha hingga selesai mewija dan selanjutnya membuat loloh (jamu) yang bahannya terdiri dari :

- Segenggam beras galih/beras yang utuh/tidak pecah

- Gamongan, 7 iris

- Garam secukupnya

- Air asaban kayu cendana

Pembuatan loloh ini memiliki makna dan tujuan sebagai sarana peleburan segala kekotoran

(leteh) Jiwa (bathin). Sebelum loloh itu diminum, dimohonkan dahulu ke hadapan Sang Hyang

Shiwa Guru, secara atmanastuti (mohon dalam hati) dengan mengucapkan mantra sebagai

berikut :

Ong... Ong... Angurahi Kawah Candra Dimuka Yanamah

Ong... Jang Jiwa Sudha Spatika Yanamah

Ang... Ah... Amertha Kamandalu Yanamah Swaha

Ang... Ung... Mang... Shiwa Amertha Yanamah Swaha
Setelah selesai meminim loloh tersebut, yang terakhir adalah nyurud ayu atau memakan nasi yasa.

Dengan selesainya makan nasi yasa, selesai sudah seluruh rangkaian pelaksanaan upacara hari suci Saraswati.



Rahayu... Damai dan Cinta Kasih untuk semua... _/\_



Sumber : "Ajaran Agama Hindu (Acara Agama)" Oleh Drs. I.B. Putu Sudarsana, MBA. MM. Yayasan Dharma Acarya Denpasar Bali.

PAGERWESI

Hari suci Pagerwesi datangnya setiap Buda (Rabu)-Keliwon-Wuku Sinta, atau setiap 210 hari (+/- 6 bulan). Saat Pagerwesi ini merupakan peringatan turunnya Sang Hyang Widhi ke bumi dengan manifestasiNya sebagai "Sang Hyang Pramestiguru", untuk memberikan anugerah kepada Janadharmika (umat) berupa kekuatan "Srada" / Iman dan "Kedirgahayuan / Kedirgayusan". Pagerwesi berasal dari kata Pager dan Wesi, kata Pager berasal dari kata Pageh yang berarti Tapa, Teguh, Kuat, sedangkan kata Wesi adalah bermakna Sradha/Iman, atau Usia/Umur. Dengan demikian hari suci Pagerwesi dimaksudkan adalah sebagai hari peringatan untuk memohon keteguhan sradha/iman dan kedirgahayuan/kedirgayusan(tutug tuwuh-Bhs. Bali). Mengenai waktu pelaksanaan upacara Pagerwesi menurut sastra (Lontar Sundharigama) adalah pada "Dauh Biomantra" atau "Dauh Amertha", yaitu sekitar pukul 04.00 dini hari, dengan tatanan sebagai berikut :



Mengenai Upakaranya :
Munggah di Sanggah Kemulan

- Pejati asoroh, diletakkan pada rong tengah

- Pada rong kanan dan kiri hanya berupa banten soda.
Banten Ayaban di bale piasan

- Banten Ayaban senistane tumpeng 5 bungkul

- Banten Sesayut Pageh Urip

- Banten Sesayut Pebersihan

- Banten Tumpeng Guru asoroh

- Banten Prayascita

- Banten Segehan Putih Kuning atanding



Tatacara Pelaksanaannya :
Pertama kali pemimpin upacara menyiapkan diri sebagai Penganteb dengan tatanannya sebagai berikut :

- Sang Penganteb menyucikan diri terlebih dahulu dengan metirtha, dan selanjutnya

mebija.

- Kemudian Sang Penganteb melaksanakan penyucian terhadap upakaranya, dengan

mengucapkan mantra :

Ong... Jalasidhi Maha Sakti

Sarwa Sidhi Maha Tirtha

Siwa Tirtha Manggala Ya


Sarwa Papa Winasaya

Setelah itu Sang Penganteb mengucapkan mantra Pangutpeti Dewa, mantranya :

Mang, Ung, Ang, Wem, Ong

Anantasana Ya Namah

Ang... Ung... Mang... Wem... Ong Dewa

Prethistha Ya Namah Swaha
Kemudian mengucapkan mantra Stiti Dewa, melalui mantra pangastawa-pangastawa sbb :

* Ke hadapan Sang Hyang Siwa Raditya

Ong Adityasya Paranjyotir 'aktateja

Nama'stute Sweta Pangkaja

Madyaste, Bhaskara Ya Namah Swaha

Ong Hrang Hring Syah

Parama Siwa Ditya Ya Namah Swaha



Setelah mengucapkan puja tadi, diulas dengan sesontengan sesuai dengan tujuan

upacara tersebut.



* Ke hadapan Sang Hyang Pramestiguru

Ong... Guru Rupam Sad Adnyanam

Guru Panthararanam Dewam

Guru Nama Japetsada

Nasti Nasti, Dina Dina

Ong... Gung Pramestiguru

Ya Namah Swaha



Sesontengan :

Pukulun paduka Bathara Sang Hyang Pramestiguru, temurun aneng

suniamertha, angadeg ring madianing bumi, anyenenggana maring

parihyangan, saksinan panubaktin pinakeng ulun, angaturaken tadah saji

pawitra muang seprakaraning daksina, asung kertha nugraha Bathara

mapaica panugrahan kedirgayusan miwah kepagehan adnyana ring sanak

kulawargan nungulun menadi jari paripurna, Ong Sidhi Mantranku.

Setelah selesai memohon restu, percikkan isi penyeneng, pesucian dan kemudian tirtha prayascitanya ke pelinggih Kemulan.
Sesudah selesai memercikkan tirtha tersebut, Sang Penganteb mengucapkan mantra Pabhuktyan Dewa :

Ong... Bhuktyantu Sarwa Ta Dewa

Bhutyantu Srilokanatha

Segana Separiwarah

Swarga Sadha Siwasca, Ong... Ang... Ah...

Amertha Sanjiwa Ya Namah

Ang... Ung... Mang... Siwa Mertha


Ya Namah Swaha

Selanjutnya mengucapkan mantra Pangaksama Dewa yang mengandung maksud, untuk memohon maaf kehadapan Sang Hyang Widhi atas kekurangan-kekurangan sebagai manusia.

Ong... Ksama Swamam Maha Dewa

Sarwa Prani Hitangkarah

Mamoca Sarwa Papebhyah

Phala Ya Swa Sadhasiwa



Papaham Papa Karmaham

Papatma Papa Sambawa

Trahimampun Dari Kaksah

Sabahya Byantara Suci



Ksantawya Kayika Dosah

Ksantawya Wacika Mamah

Ksantawya Manahsa Dosah

Tat Pramadat Ksama Swamam




Om Shantih, Shantih, Shantih Om

Selanjutnya Sang Panganteb memimpin persembahyangan, dilanjutkan dengan metirtha, dan mebija, maka upacara Pagerwesi di Pamrajan/Sanggah pun sudah selesai. Tinggal dilanjutkan mebanten ke pelinggih-pelinggih di pekarangan dan sekitar tempat tinggal.



Rahayu... Damai dan Cinta Kasih untuk semua... _/\_



Sumber : "Ajaran Agama Hindu (Acara Agama)" Oleh Drs. I.B. Putu Sudarsana, MBA. MM. Yayasan Dharma Acarya Denpasar Bali.