Senin, 02 Mei 2011

PAWETONAN / OTONAN

Menurut pandangan ajaran Hindu Bali (Çiwa Buda), kelahiran kembali menjadi manusia SANGATLAH BERUNTUNG dan MULIA walaupun masih membawa Karma Wasana kehidupan terdahulu. Akan tetapi masih jauh lebih baik jika dibandingkan kelahiran (numitis/reinkarnasi) menjadi binatang atau tumbuh-tumbuhan. Setelah lahir menjadi manusia, kita dipengaruhi kekuatan TRIPRAMANA yaitu SABDA (suara), BAYU (tenaga), IDEP (pikiran). Dari sinilah kita sebaiknya berpikir, ADAKAH YANG MELAHIRKAN? ADAKAH YANG DIAJAK LAHIR? APA YANG SEBAIKNYA DILAKUKAN SETELAH LAHIR?



Melalui pertanyaan-pertanyaan inilah sesungguhnya para Janadharmika (orang yang mematuhi ajaran agama) atau umat, mulai menghayati diri sendiri dan mencari jawabannya yang belum tentu ditemukan pada semua ilmu pengetahuan di dunia kecuali pada DIRI SENDIRI dengan bantuan sebuah CERMIN yaitu Ajaran Agama.



Sesungguhnya hari lahir ke bumi merupakan JALAN BY PASS bagi JIWA dari BWAH Loka menuju BHUR Loka (Mercapada) ini, untuk mengambil kesempatan yang diberikan oleh Sang Hyang Widhi dalam rangka MEMPERBAIKI KARMA WASANA dari hasil karma di kehidupan yang terdahulu. Reinkarnasi Jiwa ke bumi ini mengambil bentuk badan kasar/jasad. Sebagai bukti adanya kelahiran dan kehidupan di bumi ini tergantung kepada karmanya masing-masing Jiwa. Ada yang mengambil bentuk manusia, ada bentuk binatang dan ada juga yang mengambil bentuk tetumbuhan. Hal ini dapat diketahui secara nyata berdasarkan penganalisaan dan penelitian secara seksama dan mendalam serta harus didasari oleh keyakinan dan kepercayaan Hindu Bali tentang ajaran SAMSARA, misalnya :

Dengan sosok tubuh manusia, tetapi jika yang bersemayam di dalamnya adalah Jiwa yang sebelumnya adalah Jiwa dari binatang, dapat dilihat dari perilakunya. Maka dari itu ada manusia yang berperilaku seperti binatang, seperti manusia bersetubuh dengan binatang, bersetubuh dengan anak kandungnya sendiri, sebagai pembunuh yang kejam dan sadis, membunuh dan menganiaya orang tua kandungnya, dll.



Dari salah satu contoh yang diungkapkan di atas inilah memerlukan upacara pawetonan sebagai penetralisirnya yang disebut "BEBAYUH OTON", karena kata bayuh dapat diartikan sebagai bayah yang maksudnya untuk menetralisir sifat-sifat kebinatangan (Asubha Karma) atau GAMIA dan GAMIA GEMANA. Jiwa binatang bisa bersemayam pada tubuh manusia karena pada saat ia menjadi binatang mendapat PENYUPATAN dari manusia pada saat dibunuh untuk sarana YADNYA (kurban suci). Untuk lebih jelasnya berikut ini adalah salah satu petikan dari sumber ajaran agama Hindu Bali :

Sa, ba, ta, a, i, ih, kita sang dua pada muah sang catur pada, ingsun umawak Sang Hyang Shiwa Dharma, ayupa sira, apan kita anadi yadnya aja mamilara ring sang adruwe yadnya rengenang tutur mami ri sira, ingsun amretista sira, metu sira ring awak walunan mangaliha sira sunia mangetan, muang mangidul, aja lupa sira ring tutur kepatian pasang sarga ta sira ring Bharata Iswara, muang Bhatara Brahma, riwekasan numadi sira manadimanusa pradnyan, wiku dharma, muah manadi manusia sidhi, sakti, mawibawa, lah poma, ah, ... ang, ... e,...

(Pemujaan Pepada, 23 koleksi Ida Pedanda Gede Kekeran Pemaron).



Menyimak dari isi petikan di atas, dapat diambil pengertiannya bahwa Jiwa itu adalah sama, yang membedakan hanyalah getaran Karma Wasananya yang berbeda-beda. Hali ini seperti molekul-molekul, bentuk molekulnya sama tetapi sifat molekulnya yang berbeda-beda. Demikian juga Jiwa yang bersemayam pada manusia dapat bersemayam pada sosok binatang pada perjalanan reinkarnasi berikutnya akibat karmanya semasa hidup yang lebih sering berbuat jahat atau buruk (Asubha Karma) atau diibaratkan seperti BURUNG BEO, mampu berbahasa seperti manusia namun tidak memahaminya. Jika Jiwa tetumbuhan bersemayam pada sosok tubuh manusia saat reinkarnasi maka menjadi manusia yang idiot, secara umum, orang idiot kalau makan harus disuapi, mandi tidak bisa sendiri, hanya memiliki EKA PRAMANA (BAYU) saja, tidak bisa melakukan kegiatan untuk dirinya sendiri. Demikian pula sebaliknya, jika Jiwa manusia bersemayam pada bentuk tetumbuhan, maka menjadi tetumbuhan yang utama seperti yang bisa untuk obat-obatan (USADHA), Pohon Beringin, Pohon Cendana, Bunga-bungaan, dll.



Dari uraian di atas, dapat diambil maknanya bahwa menjadi manusia sangatlah utama dan mulia. Maka sangat perlu memperhatikan, menghayati dan mengamalkan SWADHARMA-nya sebagai manusia. Termasuk melaksanakan peringatan upacara pawetonan setiap enam bulan sekali sesuai dengan hari dan wuku kelahirannya. Di masa sekarang, apakah karena pengaruh jaman khususnya Janadharmika Hindu Bali (Çiwa Buda) dalam BUDAYA PAWETONAN TELAH MENGALAMI EROSI. Dengan melihat di lapangan banyak umat Hindu Bali (Çiwa Buda) malas membuat upakara pawetonan. Lebih senang mencari yang praktis yaitu mengadakan peringatan HARI ULANG TAHUN, padahal ulang tahun tersebut adalah di luar kepercayaan Hindu, bahkan sering kali perayaan ulang tahun justru menghabiskan biaya yang jauh lebih besar daripada membuat upakara Pawetonan.



Sesungguhnya upakara pawetonan tersebut telah mengandung kekuatan magis, dimana kekuatan magisnya itulah sebagai penetralisir kekuatan-kekuatan magis manusia yang cenderung bersifat asubha karma, untuk dikendalikan ke arah subha karma agar selaras dan seimbang dengan Bhuwana Agung sesuai dengan swadharma-nya sebagai manusia. Untuk lebih jelasnya berikut ini adalah pendekatan berdasarkan salah satu sumber ajaran Hindu Bali (Çiwa Buda), yaitu :

"Sang Ukir, wateknia 18, uripnia 7, pengawak Shiwa, dadi Sang Butha ngawe waringin kekayonia, waruya manuknia, lintangnia lintang bade, memes rambutnia, ireng warna awaknia, someh budinia, tama ambeknia, gedongnia menga, lumbungnia misi, pinilara den sang butha ngawe, larania, rumpu, watuk, weteng mamarning pinilara desang butha ngawe, denia anglidrangi Sang Hyang Baskara, panudaning lara diniyus kinurungan ring tegal pinggiring alas ring pawetonania kwehing toya, 17 pancoran, pujania "Shiwa Gemana." "

(Lontar Udayadnya, lembar ke 25)

Artinya :

Orang yang lahir pada wuku Ukir, memiliki karakter atas pengaruh 18 bintang dengan kekuatan 7 mudra (perputaran bumi), kayunya beringin, burungnya warunya, pengaruh buruknya adalah kecongkakan, rambutnya halus, warna kulitnya kehitaman, berbudi, ramah, penyabar, agak boros walaupun punya rejeki, dewanya Hyang Shiwa, Buthanya Sang Butha Ngawe, disakiti oleh butha ini karena dia lahir mendahului terbitnya Sang Hyang Surya, sakitnya lumpuh, batuk-batuk, sakit perut, sebagai penetralnya harus melakukan penyucian diri pada hari pawetonan tempatnya pada kebun di pinggir hutan, dengan pengastawa (Stawa) "Shiwa Gemana".



Mengambil makna dari isi petikan lontar di atas bahwa upacara tersebut memiliki magis sebagai penetralisir asubha karma agar manusia memiliki keseimbangan dengan TUHAN-nya, keseimbangan dengan LINGKUNGAN-nya, dan keseimbangan ANTAR MANUSIA-nya. Disamping itu upacara pawetonan memiliki fungsi penyucian secara Jiwa Raga yang memiliki tujuan untuk mencapai KEDAMAIAN DI HATI, DI BUMI dan DI NISKALA. Hal inilah yang menjadikan konsep yang paling mendasar dalam mencapai :

MOKSHRTAM JAGADITHA YA CA ITI DHARMA dan MOKSHRTAM ATMANAM.



Konsep ini memberikan salah satu pengertian bahwa, selama hidup di bumi harus selalu berbuat untuk kebajikan (subha karma), tetapi karena ada JERAT sebagai MAYA nya Sang Hyang Widhi untuk mematangkan Jiwa manusia, maka manusia dibelenggu kekuatan maya tersebut. Sekarang tergantung dari kejelian dan instrospeksi diri dari belenggu masing-masing manusia, agar mampu melepaskan diri dari belenggu tersebut, termasuk PENGHAYATAN dan PENGAMALAN UPACARA PAWETONAN.

TATTWA PAWETONAN



Untuk memahami tattwa pawetonan, ada baiknya terlebih dahulu kita membahas tentang kelahiran manusia berdasarkan tuntunan ajaran Agama, antara lain :



1. Tri Angga

Manusia yang lahir ke bumi adalah dalam bentuk 3 (tiga) badan (Tri Angga) yaitu :



a. Suksma Sarira

Badan Suksma Sarira ini dibentuk atman karena atma merupakan percikan dari Sang Hyang Widhi (Parama Atma), kemudian di dalam diri manusia atman bermanifestasi memberi kehidupan kepada Jiwa dan Raga, serta memiliki kemurnian, kesadaran mutlak (Cetana) sesuai dengan kemurnian Sang Hyang Widhi.



b. Anta Karana Sarira (Jiwa)

Jiwa merupakan percikan dari atman, sebagai badan penggerak (Badan Penyebab), dan pada mulanya memiliki kesucian yang sama dengan atman. Setelah ada proses pertemuan antara Jiwa dengan raga ini, maka Jiwa pun dipengaruhi oleh karma wasana, sehingga kemurnian Jiwa ini menjadi berubah (yaitu tertutupi oleh debu2 dosa yang menempel). Dengan perubahan ini maka badan ini disebut Roh.



c. Stula Sarira (Badan Kasar/Raga)

Badan ini terbentuk oleh Panca Maha Butha, yang dihidupkan oleh badan atman dan sebagai badan penggeraknya adalah roh, sehingga manusia kelihatan hidup dan bisa berkarma (berbuat).



Dari uraian di atas, maka diperlukannya pelaksanaan Upacara Pawetonan untuk menetralisir asubha karma yang merupakan efek dari ketidakmurnian Jiwa tersebut. Dari ketiga badan tersebut sesungguhnya memiliki kekuatan magis, dan masing-masing kekuatan memiliki manifestasi dan swabhawa masing-masing.



Atma memiliki swabhawa sebagai "Mahat" yaitu ranah pikiran yang tertinggi (Supra Sadar) yang kemudian muncul sebagai Intuisi, yang merupakan kesadaran asli Sang Hyang Widhi (Cetana). Sehingga manusia memiliki kekuatan Supranatural, dan mencerminkan perasaan damai, tentram dan sifat-sifat Super Egois. Sedangkan Jiwa memiliki swabhawa sebagai "BUDHI" dalam istilah bahasa sansekerta, berasal dari akar kata kerja "BUDHH" yang bermakna KECERDASAN, mengetahui, memahami, berpikir dan bijaksana.



Menurut pandangan tattwa sehubungan dengan perubahan ranah pikiran manusia dengan fungsi untuk mengklasifikasikan dan menentukan segala keputusan yang baik, maka sangat dibutuhkan bahwa manusia memiliki kejiwaan yang baik. Manusia harus dapat meningkatkan nilai kesucian diri, dari segala cara termasuk pelaksanaan upacara pawetonan, karena dari sini sumber timbulnya tingkat moral yang baik. Seseorang yang selalu bertindak berdasarkan atas keputusan buddhinya adalah orang yang bijaksana. Dari sini juga mencerminkan kecemerlangan serta perasaan suka.



Stula Sarira memiliki swabhawa sebagai "AHAMKARA", yang merupakan kelanjutan proses dari mahat juga, yaitu terdapat di bagian dalam ranah pikiran yang merupakan alat untuk dapat merasakan berpikir dan berbuat. Menurut sifat dan fungsinya, ahamkara ini dapat digolongkan menjadi tiga bagian antara lain :
Ahamkara-Waikrta

Ahamkara ini merupakan bagian dari pikiran yang bersifat Sattwam dan dari Manah (akal) beserta indrianya, berfungsi untuk berpikir dan merasakan sesuatu.
Ahamkara-Taijasa

Ahamkara ini juga merupakan bagian dari pikiran yang bersifat Rajasa (Aktif dan Dinamis) berfungsi untuk membantu gerak atau berbuat sehingga dapat mencerminkan sifat aku (egois) dan sifat pemarah.
Ahamkara-Bhutadi

Ahamkara ini juga merupakan bagian dari pikiran yang bersifat Tamas (Lamban) dan berfungsi untuk menumbuhkan unsur-unsur raga (Panca Maha Bhuta). Hal inilah yang membawa sifat malas, kebingungan, kelaparan dan sakit.



Sangka ring budhi metu sang ahamkara, telu prakarania, luirnia, satwika, rajasa, tamasa. Nahan bedania si waikrta yeka satwika, si taijasa yeka rajah, si bhutadi yeka tamah. Sangka ring ahamkara si waikrta metu tang manah lawan dasendriya, luwirnia, srota, twak, caksu, jihwa, ghrana wak, pani, pada, payu, uphasta. Sangka ring ahamkara si bhutadi metu tang panca tan matra, ikang ahamkara si taijasa yeka umilu mametwaken karyan ikan ahamkara si waikrta lawan si bhutadi, apan maka swabhawa mangulahaken.



Artinya :

Dari budhi muncullah ahamkara, ada tiga macam yaitu, satwika, rajasa, tamasa, bedanya adalah ahamkara si waikrta bersifat satwika, ahamkara si bhutadi bersifat tamak. Dari ahamkara si waikrta timbullah manas (akal) dasendria yaitu srotendriya, twakindriya, cakswindriya, jihweindriya, ghranendriya, wagindriya, panindriya, padeindriya, paywindriya, uphastendriya. Dari ahamkara si bhutadi timbullah panca tan matra (panca maha bhuta), sedangkan ahamkara si taijasa turut membantu menimbulkan aktivitasnya ahamkara karena bersifat menggerakkan.



Sehingga dari uraian di atas maka manusia lahir ke bumi adalah terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut :
Dari unsur Sang Hyang Widhi dengan adanya Atma, sehingga manusia kelihatan hidup dan memiliki kekuatan supranatural, memiliki intuisi, memiliki rasa bahagia, tentram dan damai, serta berpikiran suci.
Dari unsur Dewa (Dewa Oton) dengan adanya Jiwa sebagai badanpenyebab, sehingga manusia bisa beraktivitas, memiliki perasaan gembira dan suka, memiliki kebijaksanaan, bisa mengasihi dan memiliki pancaran KHARISMA (Taksu).
Dari unsur karma wasana yang dibawa dari kehidupan terdahulu, sehingga manusia memiliki perasaan sedih, bisa menangis, sabar, serta adanya PITARA.
Dari unsur Panca Maha Bhuta, dengan adanya sosok tubuh manusia mengakibatkan manusia mengalami kegelapan atau kebingungan (Unsur Bhuta), bisa marah (Unsur Kala), dan bisa sakit (Unsur Durga). Hal inilah yang lebih berpengaruh sehingga manusia bisa berbuat adharma (asubha karma).



Sehingga secara keseluruhan manusia saat hadir di bumi ini terdiri dari Atma, Dewa (Dewa Oton), Watak Apsari, Pitara (Getaran Karma Wasana), Bhuta, Kala dan Durga. Dikatakan adanya atma karena manusia hidup, dewa mencerminkan manusia dapat berbuat kebajikan, ada watak apsari karena manusia memiliki perasaan riang, suka cita, ada unsur bhuta kala mencerminkan bahwa manusia bisa kegelapan, kemarahan, berbuat yang tidak terpuji (asubha karma) dan yang terakhir adalah unsur durga yang mencerminkan manusia bisa sakit dan mati (pralina).



Semua unsur ini berpengaruh terhadap manusia secara positif atau pun negatif. Adapun pengaruh ini tercermin melalui Tri Kaya yaitu Kayika (perbuatan), Wacika (perkataan) dan Manacika (Pikiran). Maka Tri Kaya ini harus disucikan (Tri Kaya Parisudha) melalui pengamalan ajaran Catur Yoga yakni :
Jnana Yoga, dengan belajar untuk meningkatkan pengetahuan dari segala aspek untuk mengimbangi kebodohan.
Karma Yoga, dengan perbuatan sebaiknya selalu mengarah pada kebajikan, karena setiap kebajikan adalah Dharma.
Bhakti Yoga, sebaiknya selalu memiliki pemikiran bahwa korban suci (Yadnya) yang dilandasi dengan sembah yang penuh ketulusan hati ke hadapan Sang Hyang Widhi.
Raja Yoga, melakukan Tapa, Brata, Yoga dan Samadhi yang juga merupakan Dharma.

Keempat pengamalan tadi sesungguhnya telah saling terkait menjadi satu kesatuan yang memiliki integritas yang tinggi di dalam setiap kegiatan keagamaan, karena memiliki kekuatan magis sebagai sarana PELEBURAN DOSA manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar